Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Thursday, May 22, 2014

TRADISI SADRANAN


Sebuah budaya dan kearifan lokal yang tetap terjaga
read more


Rombongan pembawa gunungan mendaki bukit menuju Petilasan Gunung Gambar yang menjadi saksi perjuangan RM Said atau Pangeran Sambernyawa di Gunungkidul, Senin (16/7/2012). (JIBI/Harian Jogja/Apriliana Susanti)


Tradisi Sadranan (Nyadran) untuk sekarang ini dipengaruhi kuat oleh agama Islam. Sebenarnya kata Sadranan berasal dari bahasa sansekerta, Sraddha yang berarti keyakinan. Akan tetapi, tradisi Sadranan dikemas ulang oleh Sunan Kalijaga dalam nuansa Islamik dan silahturahmi. Tradisi Nyadran tidak terlalu mempengaruhi agama Buddha, tetapi terdapat pemahaman yang tidak sesuai dengan paham Buddhisme. Pembunuhan binatang, seperti; ayam, kambing, dan sapi yang digunakan sebagai sarana  radisi. Selain itu, juga terdapat konsep yang berada diluar jalan tengah, yaitu pemuasan nafsu. Ketika Tradisi Sadranan dimulai, orang-orang diharapkan untuk makan di setiap rumah yang disinggahi. Meskipun kantong perut sudah tidak muat dengan makanan lagi, tetap saja diharuskan untuk makan. Bukankah hal tersebut sama saja dengan pemuasan nafsu.
Konsep Buddhisme mengenai Tradisi Sadranan tidak masalah jika digunakan untuk menambah keyakinan. Tetapi tidak dengan melakukan pembunuhan dan pemuasan nafsu. Pembunuhan selayaknya dikurangi karena manyakiti mahkluk lain. Saran menghindari pembunuhan hanya dengan membeli daging. Bahkan mengganti daging dengan bahan pengganti daging yang sudah banyak tersedia di pasar. Pemuasan nafsu memang sangat sulit karena setiap mengunjungi rumah diharuskan untuk makan. Tentu tidak merasa enak hati ketika menolak tawaran penghuni rumah yang memaksa untuk makan. Penghuni rumah selayaknya tidak memaksa tamu untuk tetap makan, sebab kekenyangan bukan hal yang membahagiakan. Pengunjung tidak terlalu rakus ketika berkunjung, makan sedikit saja setiap rumah.
hingga pada perkembangannya, kini sadranan memiliki daya pikat tersendiri sebagai suatu kekayaan budaya dan kearifan lokal yang terus terjaga di tengah modernisasi global. Hingga kini sadranan menjadi salah satu target wisata yang terus dikembangkan. Selagi untuk menjaga kebudayaan itu agar terus bertahan, hal ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman kita akan kebudayaan negara kita yang majemuk. Bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya, ketika itu menjadi sebuah paket wisata diharapkan dpat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Contoh menonjol adalah di daerah Jogjakarta dan sekitarnya, hampir tiap tahun di beberapa daerah seperti gunungkidul selalu mengadakan tradisi tersebut.
GUNUNGKIDUL –Kerabat dari Trah Mangkunegara menghadiri upacara adat sadranan di Dusun Gunung Gambar, Desa Kampung, Ngawen, Gunungkidul, Senin, (16/7/2012). Beberapa pejabat dinas dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dan ratusan warga juga turut serta dalam upacara yang digelar setiap tahun itu.

TRADISI SADRANAN

Kedatangan kerabat Trah Mangkunegara yang terdiri atas Ir KRH Hartono Wicitro Kusumo MM dan KRH Pangarsa Negara itu disambut dengan berbagai kesenian tradisi masyarakat setempat. Bersama warga dan para peziarah, kedua kerabat Mangkunegaran itu berjalan kaki mengikuti arak-arakan gunungan menuju petilasan Raden Mas Said atau Mangkunegara I atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Samber Nyawa di puncak tertinggi Gunung Gambar sejauh 700 meter dari pintu gerbang.
Mangkunegara menyerahkan gunungan tersebut kepada juru kunci Gunung Gambar, Podo Winarno untuk kemudian didoakan sebagai sarana kenduri. Baru setelahnya, gunungan dan berbagai ubarampenya itu dibagikan kepada warga dan para peziarah untuk dimakan bersama-sama. “Sadranan ini awalnya merupakan kiriman makanan untuk Raden Mas Said yang bertapa selama masa perjuangan melawan penjajah Belanda dulu. Sekarang, upacara mengirim makanan ini diteruskan setiap pasaran Senin Legi di bulan Juli yang dihadiri pejabat kraton Mangkunegaran termasuk Mangkunegara IX,” jelas Iman Tiyoso, 93, yang pernah menjadi juru kunci Gunung Gambar selama 25 tahun.
Dalam setiap kali penyelenggaraannya, upacara adat sadranan selalu dibanjiri oleh para peziarah yang ingin ngalap berkah. Mereka tidak hanya berasal dari Gunungkidul saja, namun juga dari beberapa daerah seperti Klaten, Solo, dan beberapa daerah di Jawa Tengah. Tidak sedikit dari para peziarah tersebut yang ingin agar keinginannya dikabulkan dengan mendatangi petilasan tersebut.

Warga dengan antusias mengikuti prosesi sadranan di Petilasan Gunung Gambar. (JIBI/Harian Jogja/Apriliana Susanti)
“Upacara ini juga merupakan wisata spiritual bagi beberapa peziarah. Banyak dari mereka yang percaya kalau ke sini bisa menyembuhkan penyakit mereka ataupun mereka yang ingin agar naik jabatan,” jelas Giyanto, salah satu peziarah asal Wonosari.
Sadranan sendiri telah terdaftar dalam cagar budaya Yogyakarta yang secara otomatis menjadi tanggung jawab kabupaten Gunungkidul. Hal tersebut semakin membuka peluang wilayah Gunung Gambar untuk dijadikan sebagai desa wisata.
“Beberapa waktu lalu sudah kami usulkan ke gubernur dan ternyata masuk klasifikasi untuk cagar budaya. Otomatis, pertanggung jawaban ada pada kabupaten Gunungkidul. Walaupun sementara ini baru ada reog dan jathilan, diharapkan tradisi lain yang mendukung di sini juga bisa dikembangkan. Arahnya nanti adalah menjadi desa wista,” jelas Suharto selaku kepala Bidang Kebudayaan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul. Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak tempat yang juga melakukan tradisi sadranan.

No comments:

Post a Comment