read moree
Kenduri juga menjadi alat kontrol sosial untuk menjaga gerak dan arah dari cita-cita yang telah diperjuangkan bersama itu. Dalam kerangka mekanisme sosial itulah, kenduri menampung dan mepresentasikan banyak kepentingan. Dari sekian banyak kepentingan itu, semua dilebur menjadi satu tujuan. Kenduri mampu mempersatukan, bahkan semakin mempererat kesatuan itu. Bukan hanya kesatuan kepentingan, kesatuan cita-cita, namun juga kesatuan masing-masing individu yang terlibat didalamnya. Dalam kenduri akan terlihat jelas bagaimana kebersamaan dan keutuhan tercipta: suasana penuh kerukunan, sendau gurau antar sesama, bagi-bagi berkat dari nasi tumpeng yang baru didoakan, atau ketika bersalam-salaman dengan tulus.
Kenduri adalah sebuah tradisi berkumpul
yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang, biasanya
laki-laki, dengan tujuan meminta kelancaran atas segala sesuatu yang
dihajatkan dari sang penyelenggara yang mengundang orang-orang sekitar
untuk datang genduren. Bisa berujud selamatan syukuran, bisa juga bisa
berujud selamatan peringatan, atau anek intensi lainnya. Dalam
kenduri itu dipanjatkan aneka doa. Siapakah yang bisa memanjatkan doa?
Biasanya ada satu orang yang dituakan berfungsi sebagai pemimpin
do’a sekaligus yang mengikrarkan hajat dari sang tuan rumah. Seorang
pemimpin itu biasa juga disebut sebagai Ro’is, Modin, atau Kaum. Pemimpin
ini bisa diundang sendiri karena orang itu memang sudah biasa
menjalankan peran dan fungsi sebagai pemimpin doa dalam kenduri. Tetapi
jika tidak ada, kenduri bisa juga dipimpin oleh orang yang dianggap tua
dan mampu untuk memimpin kenduri tersebut.
Persoalan
akan muncul ketika kenduri yang berangkat dari sebuah tradisi
dibenturkan dengan penghayatan agama. Bukan soal apakah menurut agama,
kenduri itu boleh atau tidak. Bagaimana jika seorang pemeluk agama yang
satu mengundang pemeluk agama yang lain? Apakah
itu boleh atau tidak? Apakah ketika mau datang ke acara kenduri itu,
yang beragama lain itu berdosa? Ada sekian banyak pertanyaan. Dan
pertanyaan-pertanyaan inilah yang menghantui Panitia Syukur HUT Gereja
Ignatius Magelang ke-110. Sebagai bentuk syukur dan sekaligus
permohonan, panitia merencanakan mengundang masyarakat sekitar untuk
datang kendurenan. Ketika gagasan mengadakan kenduri sudah digulirkan.
Ada banyak tanggapan yang muncul, baik itu tanggapan mendukung maupun
tanggapan bertanya. “Orang Katolik kok pakai acara kenduri tho?”
Pertanyaan seperti ini bisa menjadi benang merah dari persoalan yang
bisa didiskusikan panjang lebar. Setidaknya semakin meneguhkan bahwa
sebuah tradisi budaya telah dibawa dalam sebuah kerangka penghayatan
agama.
Ada
banyak alasan dan pendapat yang bisa diberikan. Masing-masing tentu
dengan sudut pandangnya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, masing-masing
pendapat itu tentu benar. Persoalan itu tidak akan membesar ketika
masing-masing dengan legawa menempatkan kenduri dalam kerangka sebuah
tradisi budaya masyarakat Jawa. Sebuah tradisi budaya adalah sebuah
tradisi yang melintasi agama. Dalam budaya, semua dilebur menjadi satu
bagian sebagai human
yang berinteraksi dengan yang lain. Kenduri adalah sebuah permintaan
doa. Siapa pun dia, apa pun agamanya meminta doa dari orang lain. Tidak
tepat benar, tetapi bisa dipertimbangkan, kita juga sering meminta
didoakan sahabat kita tanpa melihat dia agamanya apa. Kita juga tidak
memaksa oran gitu untuk mendoakan kita menurut keyakinan kita. Dengan
keyakinannya sendiri, orang itu dengan tulus akan mendoakan permintaan
kita. Rasanya, hakekat kenduri juga demikian adanya. Seseorang
mengundang orang lain untuk mendoakan hajatnya. Tentu bukan menurut
orang yang mengundang, melainkan menurut apa yang diyakini oleh
orang-orang yang diundang.
Selain
itu, kesadaran sebagai bagian dari masyarakat juga menjadi alasan utama
diadakannya acara kenduri untuk memperingati HUT Gereja Ignatius.
Gereja adalah bagian dari masyarakat, bukan di luar masyarakat.
Kesadaran sebagai anggota masyarakat ini membawa konsekuensi bagi Gereja
untuk juga mengikuti gerak dinamika yang terjadi dalam masyarakat.
Ketika dalam kehidupan bermasyarakat ada kenduri, maka Gereja pun ikut
menggunakan media kenduri itu untuk menjalin rasa persaudaran sebagai
satu keluarga, yaitu masyarakat. Dengan mengadakan, tepatnya mengundang,
kenduri maka Gereja menjalankan peran dan fungsinya sebagai bagian dari
masyarakat. Gereja ingin mempererat rasa persaudaraan sehingga tidak
ada sapa sira sapa ingsun
(siapa aku siapa kamu), tetapi masing-masing berdiri sejajar dalam
suasana kebersamaan. Dan persaudaraan itu tidak pernah memandang kamu
dari mana atau kamu agamanya apa. Namun dalam persaudaraan sejati, semua
ditempatkan pada posisinya, yaitu sebagai manusia.
Rasanya,
tidak perlu membuat persoalan dengan mempertentangkan sebuah tradisi
dengan agama. Karena masing-masing memiliki konteksnya sendiri.
Masing-masing memiliki latar belakang. Bahkan jika dirunut sejak
awalnya, tradisi kenduri itu sendiri tidak pernah berkaitan sama sekali
dengan praktek penghayatan suatu agama. Menempatkan perbincangan ini
sesuai dengan porsi dan prosporsi kiranya menjadi sebuah pilihan yang
bijak.
No comments:
Post a Comment