Sembahyang
Subuh telah selesai ditunaikan. Fajar belum juga manyingsing dan
mataharipun masih lelap dalam peraduannya. Namun justru di keremangan
pagi itu anak-anak sudah berkerumun mengerubungi bedug di serambi
masjid. Sejurus kemudian terdengarlah suara bedug yang ditabuh
bertalu-talu. Njedhor, itulah istilah ketrampilan dalam memukul
bedug dengan aneka kreasi irama nadanya. Dengan memukulkan dua tangkai
penabuh secara bergantian, dihasilkanlah irama tetabuhan yang sangat
khas dan hanya diperdengarkan pada waktu-waktu khusus saja. Salah satu
waktu khusus itu adalah kehadiran hari padusan. Hari padusan? Apa gerangan?
Padusan berasal dari kata dasar adus, yang berarti mandi. Padusan, dalam hal ini bermakna proses aktivitas mandi. Dalam pengertian budaya, padusan
merupakan tradisi masyarakat untuk membersihkan diri atau mandi besar
dengan maksud mensucikan raga dan jiwa dalam rangka menyambut datangnya
hari ataupun bulan istimewa, seperti bulan Ramadhan, Hari Idul Fitri,
dan Hari Idul Adha.
Dalam
rangkaian penyambutan Bulan Suci Ramadhan, ummat Islam di Nusantara
memiliki beraneka ragam cara dan tradisi. Khususnya bagi masyarakat
Jawa, dalam berbagai kesempatan pengajian di bulan Rajab, para kiai,
ulama, dan ustadz dalam berbagai kesempatan pengajian sudah mewanti-wanti
dengan wasiat bahwa Rajab adalah bulannya Allah, Ruwah atau Sya’ban
adalah bulannya Rasul, sedangkan Ramadhan adalah bulannya ummat Islam.
Maka tradisi mengajarkan mulai bulan Rajab itulah ummat Islam harus
sudah ancang-ancang mempersiapkan diri akan datangnya bulan yang memiliki malam yang melebihi kemuliaan seribu bulan.
Jika pada bulan Rajab diperingati peristiwa Isra’ Mi’raj, maka di bulan Ruwah ummat Islam mengamalkan ajaran birul walidain atau memuliakan dan berbakti kepada orang tua, wabil khusus kepada ruh orang tua yang telah meninggal dengan cara mengirimkan doa dan memohonkan ampunan dalam serangkaian acara sadranan atau nyadran.
Hal ini dimaksudkan agar pada saatnya Bulan Suci Ramadhan tiba, ummat
Islam sudah siap lahir dan batin untuk memaksimalkan amalan ibadah dan
meraih keutamaan-keutamaan hikmah bulan Ramadhan.
Karena
bulan Ramadhan merupakan bulan suci dan bulan yang sangat istimewa, maka
sebagai pintu gerbang untuk memulai serangkaian ibadah Ramadhan,
manusia harus mensucikan diri, baik jasmani maupun rohani. Inilah
mengapa tradisi padusan hadir di tengah masyarakat. Lalu apa yang dilakukan di dalam acara padusan?
Sebenarnya tidak ada aturan khusus mengenai bagaimana melakukan padusan. Tokh padusan
pada dasarnya hanyalah tradisi yang hidup di tengah masyarakat dan
bukan sebuah kewajiban yang harus dikerjakan dengan konsekuensi
timbulnya dosa jika meninggalkannya. Maka padusanpun ya sesederhana makna adus itu sendiri, mandi biasa sebagaiman hari yang lain. Setiap ummat Islam melakukan mandi besar, adus komplit dengan keramasan dari ujung rambut di kepala hingga ujung kaki. Maksudnya tentu saja untuk menghilangkan dan mensucikan diri dari segala macam hadast besar ataupun hadast kecil. Bagaimana dengan tempat padusan?
Karena inti padusan adalah mandi, maka dimanapun manusia dapat melakukan mandi besar, maka padusan dapat dilakukan. Padusan dapat dilakukan di kamar mandi, di blumbang, kedukan, mbelik, sungai, sendang, telaga, bahkan di tepian pantai.
Dalam tradisi padusan yang diwariskan secara turun-temurun dari para leluhur, tidak ada ketentuan bahwa pelaksanaan padusan harus dilakukan oleh banyak orang pada suatu tempat secara bersamaan. Padusan ya
masing-masing orang mandi sebagaimana mandi pada hari-hari yang lain.
Hal khusus yang membedakan hanyalah niat bersuci untuk menyambut
datangnya hari maupun bulan suci itu tadi. Tidak kurang dan tidak lebih!
Jikalaupun kini padusan memberi kesan dilakukannya mandi massal oleh banyak orang, laki-laki maupun perempuan, pada suatu tempat seperti blumbang, kedukan, mbelik, sungai, sendang, kolam renang, telaga, bahkan di tepian pantai, sebenarnya hal tersebut bukan inti dan makna utama sebuah lelaku padusan.
Hal seperti itu saya kira lebih kepada upaya para pelaku bisnis
tertentu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atau bisnis dengan
memanfaatkan momentum acara padusan. Banyak sekali contoh tempat wisata atau taman hiburan air yang mengacarakan padusan yang meriah, bahkan lengkap dengan aneka ragam jenis tontonan, seperti kesenian tradisional hingga pementasan musik ndangdutan.
Perkembangan
penyampuran antara tradisi yang bertujuan suci nan mulia dengan
kepentingan bisnis ini seringkali menimbulkan persepsi bahwa tradisi padusan
justru menjurus kepada tindak kemaksiatan. Kemaksiatan yang dimaksud
diantaranya terjadinya mandi bersama-sama pada suatu waktu dan tempat
tertentu, terlebih tidak memisahkan tempat antara kaum laki-laki dan
perempuan yang jelas-jelas bukan muhrim masing-masing. Di samping itu,
pentas ndangdutan tertentu juga sering menjurus kepada tindakan
pornoaksi oleh para penyanyi yang menonjolkan aurat ataupun melakukan
goyangan-goyangan erotis yang justru mengumbar dan menimbulkan syahwat.
Jaman memang semakin menjadi edan.
Segala hal bisa menjadi ladang subur bagi setan untuk membisikkan
hasutan-hasutan tindak kemaksiatan. Maka sudah saatnya pemahaman
generasi muda dalam melakukan tradisi-tradisi adiluhung yang
telah diwariskan nenek moyang harus diluruskan kembali kepada asal
muasal dan tujuan sebuah tradisi dilakukan. Kata kunci yang terpenting
dari sebuah tradisi, ambil dan laksanakan hal-hal yang baik, benar dan
indah untuk dilakukan. Sebaliknya tinggalkan dan jauhi hal-hal yang
jelek, salah dan menyimpang dari ajaran agama dari sesuatu yang melekat
dalam pelaksanaan sebuah tradisi. Bukankah sebuah tradisi kebaikan
digagas oleh nenek moyang untuk semakin meningkatkan harkat dan derajat
ummat manusia, menjadi manusia yang sesungguhnya manusia. Tradisi
mengantar manusia kepada hakekat sejati.
No comments:
Post a Comment